Terima Kasih Dunia
Siang itu aku terbangun dari tempat tidur. Bukan tempat tidur dikostanku. Melainkan tempat tidur di rumah sakit. Ya, aku sudah terbaring selama 2 hari di rumah sakit ini. Karena tak kuasa menahan senyum palsu. Ya, Senyum palsu. Aku adalah seorang gadis usia 23 tahun pecinta film horror dan menyukai hal – hal yang berbau horror. Aku punya mimpi besar untuk menjadi seorang wirausaha yang bisa mengembangkan banyak usaha di bidang sosial. Namun sayang mimpiku belum terwujud. Aku masih terjebak dari rutinitas sebagai karyawan dengan pekerjaan yang menumpuk dan weekend yang terganggu. Nyaris tak ada celah untuk istirahat. Seharusnya jobdesc ku tertulis jelas, namun nyatanya (mungkin) atasanku kurang paham. Banyak pekerjaan diluar jobdesc yang dilimpahkan kepadaku. Dan aku hanya bisa pasrah. Ya, pasrah menerimanya. Tekanan demi tekanan terus mendatangiku hingga akhirnya aku tak kuat dan berakhir di rumah sakit ini setelah pingsan.
Siang ini aku merasa begitu tenang, keheningan dari ruangan rumah sakit membuatku sedikit tersenyum lepas. Ya, ini adalah hari dimana aku bisa menikmati hari dengan lebih berarti. Pikiranku fresh, tanpa tekanan, tak ada senyum palsu, dan tak ada rasa depresi yang menyelimuti. Namun satu hal yang aku sadari. Ini semua tak abadi. Ya, tak abadi. Aku yakin, setelah aku beranjak dari rumah sakit ini, kembali dengan rutinitasku, senyuman dan ketenangan ini takkan bisa lagi kudapati.
“ting tong” bel kamarku berbunyi. Aku membuka pintu dan aku melihat teman – teman kantor menjengukku. Mereka memberi support. Mereka mengatakan rindu. Rindu melihatku beraktivitas kembali. Berbagi tugas kepanitiaan dalam setiap kegiatan. Aku hanya bisa tersenyum, sembari bertanya. Benarkah aku diperlukan ditempat ini? Benarkah sepenting itu aku untuk perusahaan ini? Mereka memberiku support dengan terus bercanda tawa di kamarku. Namun, aku sadar ada sebuah tekad yang ingin aku wujudkan.
15 menit berselang, mereka pulang. Tuhan, sejenak aku rindu dengan keluargaku, rindu bercanda tawa lepas bersama mereka. Tuhan, tolong sampaikan maafku, kepada keluarga, kepada teman – temanku, dan siapapun yang mengenalku. Maaf bila aku sudah banyak mengecewakan. Dan ijinkan aku untuk beristirahat. Aku kembali duduk di kasur dan mengambil cutter yang sebelumnya telah aku simpan di laci meja rumah sakit. Aku menggenggam cutter itu dengan erat, aku tersenyum dan mengucap dalam hati “Terima kasih semuanya” tak lama ku goreskan cutter itu tepat di nadiku. Hingga akhirnya aku bisa beristirahat dengan tenang.
***